Selamanya kita sahabat

Aku dan dia bersahabat sejak kecil. Dia teman mainku, teman tidurku, teman makanku, walau kami dilahirkan dari status orang tua yang berbeda. Aku dilahirkan dari keluarga berkecukupan, ibuku selalu memberikan kue soes yang ia dapatkan dari setiap pertemuan kerja. Setiap jam makan setidaknya ada 6 piring di meja makan berisi nasi dan bermacam lauk. Sedangkan dia dilahirkan dari keluarga biasa saja. Jangankan untuk makan kue soes, makan 3 kali sehari saja sangat jarang. Pun makan, dia hanya bisa makan nasi kering dengan terasi dan kerupuk.

Suatu hari, aku makan di rumahnya. Aku merasakan kenikmatan makanan yang disediakan. Dan ini kulakukan selama sepekan. Ibuku menyadari aku tidak makan di rumah sehingga beliau bertanya padaku. Betapa polosnya diriku yang masih kecil. Ibuku memarahiku karena aku telah merepotkan keluarga sahabatku dengan menumpang makan selama sepekan. "Kamu harus membayar atas kesalahan yang telah kamu lakukan," begitu kata Ibu. Ibuku memintaku untuk memberikan sejumlah uang untuk menggantikan makanan yang aku makan selama sepekan disana. Namun, orang tua sahabatku tidak mau menerimanya. Tanpa kuketahui, ternyata ibu sahabatku berhutang kesana-kemari demi memberikan jamuan pada diriku. Padahal hari-hari biasa sahabatku bisa makan bisa tidak makan. Aku tidak tahu bagaimana harus membayar kesalahan yang telah kulakukan.

Kami beranjak besar. Aku dan dia tidak satu SMP dan SMA. Namun kami berjanji untuk tetap berteman dan bermain bersama di waktu tertentu. Hingga keadaan menakdirkan sahabatku tidak dapat melanjutkan STMnya. Suatu saat aku kehilangan kontaknya.

Tahun demi tahun berlalu. Aku menjabat sebagai seorang direktur perusahaan. Suatu hari, aku menghadiri pertemuan dengan pimpinan di sebuah perusahaan. Kulihat seseorang sedang membersihkan lantai gedung perusahaan. Kulihat wajahnya dan aku sangat mengenal wajah itu. Aku yakin dia juga mengenal wajahku. Rasanya ingin memeluk dengan erat. Namun perbedaan status sepertinya membuat dia hanya bisa menopang pada gagang sapu yang ia gunakan untuk membersihkan lantai. Bayangkan. Bagaimana rasanya bertemu dengan sahabat kita yang sudah lama tidak bertemu. Dan kita dipertemukan dengan keadaan yang sangat berbeda. Aku dengan jabatan tinggi yang kumiliki, sedangkan dia hanya seorang cleaning service. Aku berjanji untuk makan bersamanya setelah kuakhiri pertemuan hari itu.

Kami banyak bercerita tentang masa kecil kami. Beberapa kali kutawarkan, "Apa yang bisa kubantu?" Dia menjawab tidak ada. Dia bercerita, ia telah berpisah dengan istrinya selama 5 tahun. Istrinya menjadi TKI di Arab Saudi. Dan dia tidak tahu dimana keberadaan istrinya saat itu. Alamat terakhir yang ia peroleh tidak dapat dihubungi. 
"Aku punya banyak kenalan di Arab Saudi. Apakah kamu ingin aku mencari tahu dimana keberadaan istrimu?"
"Ya."
"Apakah kamu ingin dia kembali?" 
"Tidak, aku hanya ingin memastikan dia baik-baik saja disana. Setidaknya aku mengetahui bahwa ia masih hidup."

Rasanya dada ini semakin sesak. Aku meminta bantuan kenalanku di Arab untuk mencari tahu keberadaan istri sahabatku dan meminta istrinya untuk pulang dulu menemui suaminya. Biaya akan kutanggung. Hanya dalam waktu 4 hari, keberadaan istri sahabatku diketahui. Ternyata istri sahabatku beberapa kali pindah majikan karena perbuatan majikannya yang tidak baik hingga akhirnya ia terdampar di majikan yang baik.

Sebulan setelah pertemuan saat itu, istri sahabatku pulang. Baru kali ini kulihat sahabatku menangis, yaitu ketika ia bertemu dan memeluk erat istrinya.

Kemudian istrinya sempat kembali ke Arab hingga kemudian kembali ke Indonesia untuk hidup bersama suaminya. Suatu hari, aku bertemu lagi dengan sahabatku. Aku bertanya kembali, "Apa yang bisa kubantu?" "Tidak ada. Istriku sekarang telah kembali. Aku tidak menginginkan yang lainnya. Aku juga tidak sakit sehingga tidak perlu mengeluarkan biaya pengobatan."

Tuhan memang Maha Adil. Aku berada namun berbagai penyakit telah kuidap. Sahabatku kurang berada namun ia diberi kesehatan dan tidak bermental meminta-minta. Dia bersyukur dan bahagia dengan kesederhanaannya. Sedangkan kita masih saja sering merasa kekurangan padahal kita jauh lebih mampu dalam memenuhi kebutuhan hidup.

*ini adalah kisah nyata yang kudapatkan dari seorang motivator dalam sebuah acara.

Komentar

Most viewed

Psikotes dan interview HRD di perusahaan farmasi (berbeda dengan yang pertama)

Kajian Asma'ul Husna - Al Qahhar

My first job